Tugas ISD dan IBD

Click for Jambi, Indonesia Forecast

Jumat, 23 November 2012

Trik Menjadi Manusia yang Berkarakter



Bisakah karakter dibentuk? Jika karakter merupakan seratus persen turunnan atau bawaan sejak lahir, maka karakter tidak bisa dibentuk. Namun, jika bawaan (hereditas) hanyalah salah satu faktor pembentuk karakter, tentu jawabannya bisa dibentuk semenjak usia dini. Untuk itu kesepuluh pilar karakter itu, dapat diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik menggunakan strategi mengetahui, mencintai, mengerjakan, keteladanan, dan taubat. Keenam rukun pendidikan karakter tersebut adalah sebuah lingkaran yang utuh yang dapat diajarkan secara berurutan atau tidak berurutan. Sesuatu tindakan barulah dapat menghasilkan karakter kuat dan positif, apabila enam rukun pendidikan karakter ini dilakukan secara utuh dan terus menerus.

Pertama: Knowing the good (mengetahui yang baik) bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif. Mengajarkan yang baik, yang adil, yang bernilai, berarti memberikan pemahaman dengan jernih kepada pembelajar apa itu kebaikan, keadilan, kejujuran, toleransi, nilai dan lain-lain. Boleh jadi seseorang berprilaku baik, adil, toleransi, tanpa disadarinya sekalipun secara konseptual tidak mengetahui dan tidak menyadari apa itu perilaku baik, atau apa itu keadilan, atau apa itu kejujuran.

Perilaku berkarakter mendasarkan diri pada tindakan sadar si subjek, bebas dan berpengetahuan yang cukup tentang apa yang dilakukan dan dikatakannya. Meskipun tampaknya mereka tidak memiliki konsep jernih tentang nilai-nilai tersebut, sejauh tindakan itu dilakukan dalam keadaan sadar dan bebas, tindakan tersebut dalam arti tertentu telah dibimbing oleh pemahaman tertentu. Tanpa ada pemahaman dan pengertian, kesadaran dan kebebasan tidak mungkin ada sebuah tindakah berkarakter. Dalam Islampun sebuah tindakan diminta pertanggungjawabannya apabila yang melakukan itu sudah dewasa, berakal (berpengetahuan), dalam keadaan sadar, dan ada kebebasan untuk memilih. Sebuah tindakan yang tidak disadari, tidak dibimbing oleh pemahaman tertentu, tidak ada kebebasan, maka tidak akan memiliki makna bagi individu tersebut, sebab ia sendiri tidak menyadari dan tidak mengetahui makna dan akibat tindakan yang dilakukannya. Demikian juga sebuah tindakan yang tidak bebas dan tidak disadari serta tidak dibimbing oleh pengetahuan tentangnya, adalah tindakan instingtif atau ritual yang lebih dekat pada cara bertindak binatang.

Kedua: Feeling and loving the good.  Setelah knowing the good, akan tumbuh feeling and loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebaikan menjadi power dan engine yang bisa membuat orang senantiasa mau berbuat  kebaikan. Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebaikan itu. Bagaimana supaya setiap orang cinta kepada kebaikan? Tentu prilaku kebaikan itu harus dihiasi, dirawat, ditegakkan, dikawal, dilindungi, dihargai dan dikaji implikasinya dalam waktu jangka panjang, serta keberpihakan kepada kebaikan bagi setiap orang terutama para pengambil keputusan dan kebijakan. Dengan demikian setiap orang merasa senang, nyaman dan aman dalam melakukan kebaikan itu.

Ketiga: Acting the good (tindakan kebaikan) setelah melalui proses mengerti dan mencintai kebaikan yang melibatkan dimensi kognitif dan afektif. Melalui tindakan pengalaman kebaikan ini secara terus menerus, melahirkan kebiasaan, yang pada akhirnya membentuk karakter yang kuat dan postif. Tindakan membiasakan melakukan kebaikan, sangat ditekankan dalam pendidikan Islam. Dalam hadis HR. al-Hakim, disebutkan, “Perintahlah anak-anakmu menjalankan ibadah salat jika mereka sudah berusia tujuh tahun. Dan jika mereka sudah berusia sepuluh tahun, maka pukullah mereka jika tidak mau melaksanakannya dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” Rentang waktu antara 7 sampai dengan 10 tahun (3 tahun) mengandung makna pembiasaan melakukan ibadah dan kebajikan, karena anak umur sekian itu (belum dewasa) belum ada kewajiban melaksanakan ibadah salat. Dari perintah salat, dapat disamakan dengan ibadah puasa, dan perbuatan kebajikan lainnya. Rahasianya adalah agar anak terbiasa sekaligus menjadi karakternya untuk melakukan yang baik, sehingga ketika tumbuh dewasa, ia talah terbiasa melakukan dan terdidik untuk menaati Allah, melaknakan hak-Nya, bersyukur kepada-Nya, kembali kepada-Nya, berpegang teguh kepada-Nya, bersandar kepada-Nya dan berserah diri kepada-Nya. Di samping itu, anak akan mendapatkan kesucian rohani, gerakan refleks dan kesehatan jasmani, kebaikan akhlak, perkataan, dan perbuatan di dalam ibadah-ibadah itu.  Menurut M. Nuh (Mendiknas) dalam Republika OnLine, dijelaskan bahwa “tradisi pesantren sangat penting di sekolah”. Maksudnya ialah pembiasaan nilai positif menjadi tradisi positif, lalu menjadi budaya positif, yang pada akhirnya menjadi ukiran karakter positif yang kuat.

Keempat: Keteladanan. Dari aspek knowing the good, feeling and loving the good dan acting the good pembelajar butuh keteladanan dari lingkungan sekitarnya. Manusia lebih banyak belajar dan mencontoh dari apa yang ia lihat dan alami. Keteladanan yang paling berpengaruh adalah yang paling dekat dengan pembelajar. Orang tua, karib kerabat, pimpinan masyarakat dan siapa pun yang sering berhubungan dengan pembelajar terutama idola pembelajar, adalah menentukan proses pembentukan karakter kuat. Jika pendidik jujur, amanah, berakhlak mulia, berani, dan menjauhkan diri dari perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur agama dan bangsa, maka pembelajar akan tumbuh dalam kejujuran, terbentuk dengan akhlak mulia, berani dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur agama dan bangsa dan begitu pun sebaliknya. Seorang anak, bagaimana pun besar usaha yang dipersiapkan untuk kebaikannya, bagaimana pun sucinya fitrah, ia tidak akan mampu memenuhi prinsip-prinsip kebaikan dan nilai-nilai lurur agama, selama ia tidak melihat sang pendidik dan para pemimpin lainnya sebagai teladan dari nilai-nilai moral yang tinggi. Adalah sesuatu yang sangat mudah bagi pendidik, termasuk orang tua, yaitu mengajari anak dengan berbagai materi pendidikan, akan tetapi adalah sesuatu yang teramat sulit bagi anak untuk melaknakannya ketika ia melihat orang yang memberikan pengarahan dan bimbingan kepadanya tidak mengamalkannya. Itulah sebabnya salah satu keberhasilan Nabi SAW dalam menyampaikan risalahnya adalah karena dia sendiri menjadi keteladanan paripurna bagi umatnya. Dalam QS. Al-Ahazab: 21 disebutkan:

لقد كان لكم في رسول الله أسوة حسنة لمن كان يرجو الله واليوم الآخر وذكر الله كثيرا

Kelima: Tobat. Tobat pada hakikatnya ialah kembali kepada Allah setelah melakukan kesalahan dalam hidup. Tobat Nasuha adalah bertobat dari dosa/kesalahan yang diperbuatnya saat ini dan menyesal (muhaasabah dan refleksi) atas dosa-dosa yang dilakukannya di masa lalu dan berjanji untuk tidak melakukannya lagi di masa mendatang serta bertekad berbuat kebajikan di masa yang akan datang. Rasulullah pernah ditanya oleh seorang sahabat, “Apakah penyesalan itu taubat?”, “Ya”, kata Rasulullah (H.R. Ibnu Majah). Amr bin Ala pernah mengatakan: “Taubat Nasuha adalah apabila kamu membenci perbuatan dosa sebagaimana kamu pernah mencintainya”. Tuhan mencintai hambanya yang tobat dan tazkiyatu nufus (mensucikan diri) (Al-Baqarah: 222).  Dalam tobat, ingatan, pikiran, perasaan, hati nurani, secara total digunakan untuk menangkap makna dan nilai yang dilakukan selama ini, menemukan  hubungan dengan Tuhannya, dan kesiapan menanggung konsekwensi dari tindakan taubatnya.  Tobat akan membentuk kesadaran tentang hakikat hidup, melahirkan optimisme, nilai kebajikan, nilai-nilai yang di dapat dari berbagai tindakannya, manfaat dan kehampaan tindakannya, dan lain-lain sedemikian rupa, sehingga seseorang dibawa maju untuk melakukan suatu tindakan dalam paradigma baru di masa-masa akan datang.  Pelaku tobat, secara sadar merendahkan hatinya untuk minta maaf kepada Tuhan dan siapa saja termasuk anak kandung sendiri, jika kesalahan itu berasal darinya. Dengan demikian dalam diri pelaku tobat, melebihi sekedar muhasabah dan refleksi. Tidak ada tobat tanpa dimulai dari pengetahuan, endapan pengalaman, kecintaan, kesadaran, penyesalan, kebebasan, dan perubahan perilaku ke arah positif.  Seperti Khalid bin Walid si Pedang Tuhan (sahabat Nabi SAW) yang semula berkarakter kuat dan energy negatif, dia menjadi garda terdepan menentang Islam, berubah menjadi manusia yang berkarakter kuat dan energy positif sebagai membela kebenaran dengan cara tobat. Karena karakter itu tidak mudah diubah. Jika sesuatu itu mudah diubah, ia bukanlah karakter. Mungkin saja ia hanyalah sifat, pandangan, pendapat, atau pendirian.

sumber: http://maragustamsiregar.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar