Bisakah karakter dibentuk? Jika
karakter merupakan seratus persen turunnan atau bawaan sejak lahir, maka
karakter tidak bisa dibentuk. Namun, jika bawaan (hereditas) hanyalah salah
satu faktor pembentuk karakter, tentu jawabannya bisa dibentuk semenjak usia
dini. Untuk itu kesepuluh pilar karakter itu, dapat diajarkan secara sistematis
dalam model pendidikan holistik menggunakan strategi mengetahui, mencintai,
mengerjakan, keteladanan, dan taubat. Keenam rukun pendidikan karakter tersebut
adalah sebuah lingkaran yang utuh yang dapat diajarkan secara berurutan atau
tidak berurutan. Sesuatu tindakan barulah dapat menghasilkan karakter kuat dan
positif, apabila enam rukun pendidikan karakter ini dilakukan secara utuh dan terus
menerus.
Pertama: Knowing the good
(mengetahui yang baik) bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat
kognitif. Mengajarkan yang baik, yang adil, yang bernilai, berarti memberikan
pemahaman dengan jernih kepada pembelajar apa itu kebaikan, keadilan,
kejujuran, toleransi, nilai dan lain-lain. Boleh jadi seseorang berprilaku
baik, adil, toleransi, tanpa disadarinya sekalipun secara konseptual tidak
mengetahui dan tidak menyadari apa itu perilaku baik, atau apa itu keadilan,
atau apa itu kejujuran.
Perilaku berkarakter mendasarkan
diri pada tindakan sadar si subjek, bebas dan berpengetahuan yang cukup tentang
apa yang dilakukan dan dikatakannya. Meskipun tampaknya mereka tidak memiliki
konsep jernih tentang nilai-nilai tersebut, sejauh tindakan itu dilakukan dalam
keadaan sadar dan bebas, tindakan tersebut dalam arti tertentu telah dibimbing
oleh pemahaman tertentu. Tanpa ada pemahaman dan pengertian, kesadaran dan
kebebasan tidak mungkin ada sebuah tindakah berkarakter. Dalam Islampun sebuah
tindakan diminta pertanggungjawabannya apabila yang melakukan itu sudah dewasa,
berakal (berpengetahuan), dalam keadaan sadar, dan ada kebebasan untuk memilih.
Sebuah tindakan yang tidak disadari, tidak dibimbing oleh pemahaman tertentu,
tidak ada kebebasan, maka tidak akan memiliki makna bagi individu tersebut,
sebab ia sendiri tidak menyadari dan tidak mengetahui makna dan akibat tindakan
yang dilakukannya. Demikian juga sebuah tindakan yang tidak bebas dan tidak
disadari serta tidak dibimbing oleh pengetahuan tentangnya, adalah tindakan
instingtif atau ritual yang lebih dekat pada cara bertindak binatang.
Kedua: Feeling and loving the
good. Setelah knowing the good, akan
tumbuh feeling and loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai
kebaikan menjadi power dan engine yang bisa membuat orang senantiasa mau
berbuat kebaikan. Sehingga tumbuh kesadaran
bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku
kebaikan itu. Bagaimana supaya setiap orang cinta kepada kebaikan? Tentu
prilaku kebaikan itu harus dihiasi, dirawat, ditegakkan, dikawal, dilindungi,
dihargai dan dikaji implikasinya dalam waktu jangka panjang, serta keberpihakan
kepada kebaikan bagi setiap orang terutama para pengambil keputusan dan
kebijakan. Dengan demikian setiap orang merasa senang, nyaman dan aman dalam
melakukan kebaikan itu.
Ketiga: Acting the good (tindakan
kebaikan) setelah melalui proses mengerti dan mencintai kebaikan yang
melibatkan dimensi kognitif dan afektif. Melalui tindakan pengalaman kebaikan
ini secara terus menerus, melahirkan kebiasaan, yang pada akhirnya membentuk
karakter yang kuat dan postif. Tindakan membiasakan melakukan kebaikan, sangat
ditekankan dalam pendidikan Islam. Dalam hadis HR. al-Hakim, disebutkan,
“Perintahlah anak-anakmu menjalankan ibadah salat jika mereka sudah berusia
tujuh tahun. Dan jika mereka sudah berusia sepuluh tahun, maka pukullah mereka
jika tidak mau melaksanakannya dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” Rentang
waktu antara 7 sampai dengan 10 tahun (3 tahun) mengandung makna pembiasaan
melakukan ibadah dan kebajikan, karena anak umur sekian itu (belum dewasa)
belum ada kewajiban melaksanakan ibadah salat. Dari perintah salat, dapat
disamakan dengan ibadah puasa, dan perbuatan kebajikan lainnya. Rahasianya
adalah agar anak terbiasa sekaligus menjadi karakternya untuk melakukan yang
baik, sehingga ketika tumbuh dewasa, ia talah terbiasa melakukan dan terdidik
untuk menaati Allah, melaknakan hak-Nya, bersyukur kepada-Nya, kembali
kepada-Nya, berpegang teguh kepada-Nya, bersandar kepada-Nya dan berserah diri
kepada-Nya. Di samping itu, anak akan mendapatkan kesucian rohani, gerakan
refleks dan kesehatan jasmani, kebaikan akhlak, perkataan, dan perbuatan di
dalam ibadah-ibadah itu. Menurut M. Nuh
(Mendiknas) dalam Republika OnLine, dijelaskan bahwa “tradisi pesantren sangat
penting di sekolah”. Maksudnya ialah pembiasaan nilai positif menjadi tradisi
positif, lalu menjadi budaya positif, yang pada akhirnya menjadi ukiran
karakter positif yang kuat.
Keempat: Keteladanan. Dari aspek
knowing the good, feeling and loving the good dan acting the good pembelajar
butuh keteladanan dari lingkungan sekitarnya. Manusia lebih banyak belajar dan
mencontoh dari apa yang ia lihat dan alami. Keteladanan yang paling berpengaruh
adalah yang paling dekat dengan pembelajar. Orang tua, karib kerabat, pimpinan
masyarakat dan siapa pun yang sering berhubungan dengan pembelajar terutama
idola pembelajar, adalah menentukan proses pembentukan karakter kuat. Jika
pendidik jujur, amanah, berakhlak mulia, berani, dan menjauhkan diri dari
perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur agama dan bangsa, maka
pembelajar akan tumbuh dalam kejujuran, terbentuk dengan akhlak mulia, berani
dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan
nilai-nilai luhur agama dan bangsa dan begitu pun sebaliknya. Seorang anak,
bagaimana pun besar usaha yang dipersiapkan untuk kebaikannya, bagaimana pun
sucinya fitrah, ia tidak akan mampu memenuhi prinsip-prinsip kebaikan dan
nilai-nilai lurur agama, selama ia tidak melihat sang pendidik dan para
pemimpin lainnya sebagai teladan dari nilai-nilai moral yang tinggi. Adalah
sesuatu yang sangat mudah bagi pendidik, termasuk orang tua, yaitu mengajari
anak dengan berbagai materi pendidikan, akan tetapi adalah sesuatu yang teramat
sulit bagi anak untuk melaknakannya ketika ia melihat orang yang memberikan
pengarahan dan bimbingan kepadanya tidak mengamalkannya. Itulah sebabnya salah
satu keberhasilan Nabi SAW dalam menyampaikan risalahnya adalah karena dia
sendiri menjadi keteladanan paripurna bagi umatnya. Dalam QS. Al-Ahazab: 21
disebutkan:
لقد
كان لكم في رسول
الله أسوة حسنة لمن
كان يرجو الله واليوم
الآخر وذكر الله كثيرا
Kelima: Tobat. Tobat pada
hakikatnya ialah kembali kepada Allah setelah melakukan kesalahan dalam hidup.
Tobat Nasuha adalah bertobat dari dosa/kesalahan yang diperbuatnya saat ini dan
menyesal (muhaasabah dan refleksi) atas dosa-dosa yang dilakukannya di masa
lalu dan berjanji untuk tidak melakukannya lagi di masa mendatang serta
bertekad berbuat kebajikan di masa yang akan datang. Rasulullah pernah ditanya
oleh seorang sahabat, “Apakah penyesalan itu taubat?”, “Ya”, kata Rasulullah
(H.R. Ibnu Majah). Amr bin Ala pernah mengatakan: “Taubat Nasuha adalah apabila
kamu membenci perbuatan dosa sebagaimana kamu pernah mencintainya”. Tuhan
mencintai hambanya yang tobat dan tazkiyatu nufus (mensucikan diri)
(Al-Baqarah: 222). Dalam tobat, ingatan,
pikiran, perasaan, hati nurani, secara total digunakan untuk menangkap makna
dan nilai yang dilakukan selama ini, menemukan
hubungan dengan Tuhannya, dan kesiapan menanggung konsekwensi dari tindakan
taubatnya. Tobat akan membentuk
kesadaran tentang hakikat hidup, melahirkan optimisme, nilai kebajikan,
nilai-nilai yang di dapat dari berbagai tindakannya, manfaat dan kehampaan
tindakannya, dan lain-lain sedemikian rupa, sehingga seseorang dibawa maju
untuk melakukan suatu tindakan dalam paradigma baru di masa-masa akan
datang. Pelaku tobat, secara sadar
merendahkan hatinya untuk minta maaf kepada Tuhan dan siapa saja termasuk anak
kandung sendiri, jika kesalahan itu berasal darinya. Dengan demikian dalam diri
pelaku tobat, melebihi sekedar muhasabah dan refleksi. Tidak ada tobat tanpa
dimulai dari pengetahuan, endapan pengalaman, kecintaan, kesadaran, penyesalan,
kebebasan, dan perubahan perilaku ke arah positif. Seperti Khalid bin Walid si Pedang Tuhan
(sahabat Nabi SAW) yang semula berkarakter kuat dan energy negatif, dia menjadi
garda terdepan menentang Islam, berubah menjadi manusia yang berkarakter kuat
dan energy positif sebagai membela kebenaran dengan cara tobat. Karena karakter
itu tidak mudah diubah. Jika sesuatu itu mudah diubah, ia bukanlah karakter.
Mungkin saja ia hanyalah sifat, pandangan, pendapat, atau pendirian.
sumber: http://maragustamsiregar.wordpress.com
sumber: http://maragustamsiregar.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar